Oleh: Ririn Apriyani
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fakultas Teknik dan Sains Prodi)
Nuansababel.com — Konservasi Sumber Daya Alam dampak dari perubahan iklim sedang kita rasakan sekarang ini. Seperti contohnya yaitu perubahan musim yang sudah tidak bisa diperkirakan, mencairnya es di daerah kutub sehingga menyebabkan kenaikan muka air laut, peningkatan suhu di muka bumi, dan sebagainya.
Dampak dari perubahan iklim tersebut tidak hanya memberikan kerugian bagi kehidupan manusia, namun juga berdampak bagi kehidupan makhluk hidup lainnya yakni hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme.
Mengingat dampak negatif yang semakin besar dari perubahan iklim yang mengancam kehidupan di muka bumi, manusia berupaya untuk
menanggulangi dan meminimalisir dampak dari perubahan iklim tersebut.
Saat ini negara kita Indonesia dan negara-negara lainnya sedang berupaya untuk menurunkan emisi karbon dunia demi mengurangi perubahan iklim global. Upaya yang dilakukan Indonesia diantaranya yaitu dalam hal penurunan angka deforestasi, kebakaran hutan, dan rehabilitasi kawasan mangrove. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan luasan hutan mangrove terbesar di dunia.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, diketahui bahwa total luas mangrove Indonesia adalah seluas 3.364.076 Ha atau 20,37% dari total mangrove dunia.
Dengan kawasan mangrove yang begitu luas, memberikan perlindungan bagi kawasan pesisir di negara kita. Kawasan mangrove memberikan dampak
dan manfaat yang penting bagi kehidupan, baik dari sisi ekonomis, sosial, dan yang terpenting dari sisi ekologis atau lingkungannya.
Dari sisi ekonomi, kawasan mangrove memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir, karena mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan, sumber obat-obatan alami, kayu nya yang dapat dimanfaatkan sebagai arang, serta pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan ekowisata.
Sumber daya yang ada di dalam kawasan hutan mangrove jika dikelola dan dimanfaatkan secara bijak, dapat memberikan manfaat dan meningkatkan nilai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, pemanfaatan tanaman mangrove untuk membuat obat alami dan pembuatan ekowisata hutan mangrove dengan memberdayakan masyarakat, tentu dapat memberikan tambahan wawasan dan ilmu serta meningkatkan nilai ekonomi masyarakat. Selain itu, kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjalin dan melestarikan hubungan sosial yang ada di masyarakat setempat.
Manfaat terpenting yang didapatkan dari kawasan mangrove yakni manfaat ekologis nya. Beberapa manfaat kawasan mangrove dari sisi ekologis diantaranya yaitu sebagai pelindung kawasan pantai, mencegah terjadinya abrasi oleh air laut, sebagai pemecah
gelombang sehingga tidak langsung terkena ke daratan, sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati akuatik dan non-akuatik.
Mangrove sendiri dikenal sebagai blue carbon atau penyerap karbon di kawasan pesisir karena kemampuan mangrove yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar. Telah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa kondisi kawasan mangrove yang sehat mampu menjadi penyangga dan penahan laju perubahan iklim.
Seperti contohnya pada hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari US Forest Service Pasifik Barat Daya dan Stasiun Penelitian Kehutanan International menemukan bahwa mangrove per hektar dapat menyimpan karobon empat kali lebih besar dari pada hutan tropis lainnya di seluruh dunia. Mengutip dari situs website Mongabay (2020), yang mengatakan bahwa mangrove berperan dalam hal ketahanan mitigasi dan adaptasi nasional terhadap perubahan iklim karena mangorve menyimpan karbon 800-1200 ton setara karbon/ha atau 4-5 kali dari hutan daratan.
Namun, sangat disayangkan karena akhir-akhir ini kerusakan pada kawasan mangrove kian bertambah dikarenakan kegiatan industri pertambangan, pembukaan lahan tambak, dan pembuangan limbah pada kawasan mangrove. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap fungsi dari kawasan mangrove. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial, tingkat kerusakan hutan mangrove saat ini seluas 5,9 juta hektar atau sekitar 68,8 person.
Hal tersebut tentu berujung kepada degradasi kawasan pesisir oleh air laut karena tidak adanya kawasan mangrove sebagai penahan gelombang serta terganggunya ekosistem keanekaragaman hayati di kawasan pesisir.
Melihat fenomena tersebut, maka pihak pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah berupaya untuk mengembalikan fungsi kawasan mangrove dengan lebih menggiatkan
kegiatan rehabilitasi mangrove.
Seperti yang dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah berkomitmen dan menggencarkan upaya rehabilitasi
kawasan mangrove melalui program rehabilitasi lahan gambut dan mangrove yang ada di Bangka Belitung.
Seperti yang dilansir dalam website Serumpun Babelprov (15/4/2021) yang
mengatakan “Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan menjaga kelestarian Hutan Mangrove dengan melakukan program rehabilitasi lahan gambut dan mangrove yang ada di Bangka Belitung dengan alokasi target lahan seluas 16.000 hektar, dan rencana seluas 2.240 hektar di tahun 2021″.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu wilayah kerja Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Republik Indonesia. Sehingga upaya rehabilitasi kawasan mangrove telah sering digalakkan baik oleh pemerintah daerah, stakeholder, maupun komunitas masyarakat. Sebagai contoh rehabilitasi kawasan mangrovedi Desa Kurau Barat, Kabupaten Bangka Tengah. Hal tersebut dilakukan untuk membantu pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim.
Upaya rehabilitasi mangrove yang umum dilakukan adalah penanaman mangrove yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan mangrove. Upaya rehabilitasi
dapat mengembalikan peranan mangrove sebagai penyimpan karbon yang akan sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim.
Jika Indonesia serius dalam penanganan perubahan iklim, maka upaya rehabilitasi kawasan mangrove menjadi perhatian serius yang harus segera ditindaklanjuti. Karena upaya tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan kawasan mangrove dan mengurangi perubahan iklim, namun juga untuk mengembalikan kualitas lingkungan pesisir yang baik bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Upaya rehabilitasi tersebut dilakukan dengan adanya kolaborasi antara masyarakat, stakeholder, LSM, dan pihak pemerintah. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dimulai dengan
pendekatan masyarakat, pemulihan kawasan hutan dengan kegiatan penanam mangrove, pembangunan pelindung pantai, dan pendekatan ekonomi.
Upaya rehabilitasi yang dilakukan
bukan hanya sekadar kegiatan penanaman tanaman mangrove, namun juga dilanjutkan dengan kegiatan pemeliharaan, pengawasan, dan pengelolaan harus dilakukan secara berkelanjutan.
Dengan dilakukannya rangkaian kegiatan rehabilitasi tersebut secarabekerjasama antara semua pihak serta terus berkelanjutan, maka upaya kita untuk mengurangi perubahan iklim dapat tercapai dan dampak-dampak positif pun dapat kita semua rasakan. (red)