Oleh : Tri Dimas Husin
(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fakultas Teknik Dan Sains Prodi Konservasi Sumber Daya Alam)
Nuansababel.com, Mangrove menjadi salah satu unsur ekosistem yang rmanfaat bagi masyarakat khususnya di wilayah pesisir Bangka Belitung. Namun semakin lambat laun terjadi degradasi wilayah mangrove yang berubah menjadi kegiatan ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung menggerus kemanfaatan mangrove. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan dalam wilayah hutan mangrove di provinsi Bangka Belitung seakan tidak maksimal dalam mengatur tata ruang sehingga vegetasi mangrove terancam rusak.
Untuk memberikan analisis terkait pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan mangrove dalam perspektif hukum. Jenis penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlu adanya kebijakan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder dan adanya kebijakan terkait penegakan hukum yang tegas terkati pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan mangrove yang ada di Bangka Belitung.
Dalam suatu pemanfaatan pada hutan mangrove oleh masyarakat pesisir hal ini juga dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah yang dikelilingi oleh ekosistem laut yang berpotensi dalam aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat Bangka Belitung. Namun dalam potensi-potensi yang muncul dari pemanfaatan ruang oleh masyarakat, justru muncul ekses negatif terhadap potensi sumber daya alam yang ada yaitu dengan salah dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan. Pengelolaan lingkungan selain berdimensi pengelolaan sumber daya alam, juga berdimensi pemanfaatan ruang.
Pengelolaan mangrove dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pesisir dan perikanan karena mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir dan menjadi sumber produksi perikanan. Kebijakan lain yang memengaruhi adalah kebijakan tata ruang yang menjadi pedoman utama, apakah mangrove menjadi kawasan pemanfaatan (budi daya) atau kawasan konservasi. Kejelasan penetapan kawasan tersebut memengaruhi sistem pengelolaan mangrove yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Berbagai fungsi serta manfaat hutan mangrove yaitu fungsi fisik, fungsi biologis dan fungsi ekonomis. Hutan Mangrove secara fisik berfungsi sebagai peredam gelombang dan angin agar tidak merusak daratan, menahan abrasi pantai, mencegah terjadinya intrusi air laut. Fungsi hutan mangrove secara biologis antara lain sebagai tempat berkembangbiak bagi berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan jenis hewan lainnya. Secara sosial ekonomis, keberadaan hutan mangrove juga menjadi sangat penting karena bisa menjadi tempat wisata alam, selain itu juga menghasilkan berbagai produk baik kayu dan non kayu yang menjadi daya dukung bagi kehidupan masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Ekosistem hutan mangrove yang rusak akan semakin cepat seiring dengan meningkatnya usaha-usaha perekonomian dan pembangunan di daerah pantai. Perubahan yang terjadi di daerah pesisir pantai dengan mengorbankan kawasan mangrove, sehingga areal mangrove tidak berfungsi dengan semestinya. Rusaknya hutan mangrove di Indonesia disebabkan karena meningkatnya konversi lahan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, menyebabkan kebutuhan hidup manusia semakin meningkat, sebagai konsekuensinya peningkatan pembangunan dan pemukiman menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum banyak memperhitungkan kerugian yang berdampak ekologis.
Demikian juga halnya dengan pembangunan wilayah pantai sekitar kawasan hutan mangrove, dimana pemanfaatan kawasan pantai untuk tambak ikan tidak dilakukan secara bijaksana dan berwawasan lingkungan. Selain itu, kerusakan juga disebabkan pencemaran limbah industri maupun limbah rumah tangga dari pemukiman sekitarnya dan dampaknya sangat besar.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat di Bangka Belitung. Pemanfaatan lahan, khususnya lahan hutan mangrove mengalami evolusi penurunan angka ekosistemnya. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Kepulauan Bangka Belitung telah mencatat terkait kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467, 98 hektar atau dengan kata lain yang tersisa tinggal 33.224, 83 hektar (Komara Dkk, 2020).
Kehilangan hutan mangrove tersebut terjadi bukan hanya mendasarkan pada eksploitasi pertambangan timah di laut namun juga berkaitan dengan perubahan pengelolaan lahan mangrove menjadi pertambakan dan pembangunan infrastruktur tak ramah lingkungan. Pola pengelolaan lahan mangrove yang “sekedar” mencari keuntungan sesaat namun tidak dibarengi dengan tata kelola yang berbasis pada lingkungan.
Seiring dengan munculnya sisi negatif terhadap lingkungan hutan mangrove akibat pola kebijakan pengelolaan lahan yang tidak mendasarkan pada pola pembangunan ramah lingkungan sehingga berpotensi nilai guna ekosistem di wilayah hutan mangrove menurun. Problematika terkait dengan pelestarian lingkungan di wilayah pesisir secara tidak langsung berafiliasi dengan kebijakan atau aturan terkait dengan pola pemanfaatan lahan mangrove di wilayah pesisir pulau Bangka secara khusus dan di kepulauan Bangka Belitung secara umum.
Berdasarkan data di atas, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kebijakan pemanfaatan lahan dalam wilayah hutan mangrove di kepulauan Bangka Belitung khususnya di wilayah Pesisir Timur Pulau Bangka untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Adapun maksud penulisan penelitian ini berupa pengaturan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan mangrove dalam perspektif hukum yang bisa digunakan sebagai acuan dasar dan mengetahui pengawasan pemanfaatan dan pengelolaan lahan mangrove di kepulauan Bangka Belitung. (red)