Oleh: Fika Wulandari
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fakultas Teknik dan Sains Prodi Konservasi Sumber Daya Alam)
Nuansababel.com, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang memiliki banyak kawasan perkebunan yang masyarakatnya memanfaatkan sumber daya lahan sebagai lahan perkebunan dan pertanian. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat, kawasan perkebunan juga merupakan habitat bagi berbagai jenis satwaliar.
Pulau Bangka juga merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang daerahnya banyak dialiri oleh daerah aliran sungai. Daerah aliran sungai ini merupakan sumber kehidupan bagi mayoritas masyarakat daerah karena banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di kawasan aliran sungai.
Aktivitas seperti mandi, mencuci, memancing dan menjaring ikan, hingga menambang umum dilakukan masyarakat di kawasan aliran sungai. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat, aliran sungai di Pulau Bangka merupakan habitat bagi berbagai jenis satwaliar.
Satwaliar adalah binatang atau hewan vertebrata yang hidup liar, berasosiasi dengan lingkungannya ataupun hidup dalam ekosistem alam (Alikodra, 2018). Salah satunya adalah satwaliar babi hutan (Sus scrofa) dan berjenis reptil yaitu Buaya Muara (Crocodilus porosus) dan satwaliar jenis primata adalah Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis) dan Beruk ( Macaca nemestrina).
Akhir-akhir ini di Pulau Bangka terjadi peningkatan konflik antara satwaliar dengan masyarakat . Konflik satwaliar dengan masyarakat merupakan suatu permasalahan yang kompleks, dimana dalam hal ini bukan hanya keselamatan manusia yang diutamakan tetapi juga keselamatan satwaliar itu sendiri.
Jumaryati et al. (2020) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya konflik antara manusia dengan satwaliar seperti perladangan dalam kawasan hutan baik yang lama maupun baru, illegal logging, perluasan lahan perkebunan yang dilakukan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan satwaliar, perburuan, ketidaktersediaan makanan yang cukup bagi kelangsungan hidup satwaliar di dalam hutan, serta pembukaan wilayah hutan untuk pengusahaan pertambangan .
Faktor penyebab konflik tersebut dikarenakan kerusakan habitat akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan dan tingkat kesukaan satwaliar terhadap jenis tanaman yang ditanam pekebun. Terjadinya penurunan kualitas habitat satwaliar dapat membuat satwa terdesak dan membuat area jelajah baru yang kemudian masuk ke kawasan masyarakat.
Satwaliar yang masuk ke kawasan pemukiman masyarakat akan menyebabkan gangguan dalam kehidupan masyarakat dan memicu terjadinya konflik antara satwaliar dengan manusia hingga tidak jarang pula menyebabkan kerugian pada masyarakat. Kerusakan habitat ini tidak hanya berdampak pada biodiversity yang ada di ekosistem namun juga berdampak kepada masyarakat yang berada dekat dengan aliran sungai.
Karena rusaknya habitat satwa , memicu terjadinya konflik antara satwaliar dengan manusia. Konflik dapat terjadi karena adanya perebutan sumberdaya yang terbatas oleh manusia dengan satwaliar pada suatu kawasan yang menyebabkan kerugian bagi satwaliar ataupun manusia. Hilangnya habitat, rusaknya sumber daya alam maupun kompetesi sumber daya dapat menjadi pemicu besar terjadinya konflik tersebut.
Dalam hal ini konflik antara satwaliar dengan manusia terjadi di beberapa desa di Pulau Bangka seperti konflik yang terjadi di Desa Air Duren dan Kemuja Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka Tengah. Di Desa Air Duren dan Desa Kemuja, diketahui bahwa babi hutan (Sus scrofa) sering ditemukan mengganggu dan merusak tanaman nanas, ubi jalar, dan ubi kayu.
Dari tanaman nanas tersebut, bagian yang sering dirusak adalah buahnya. Sedangkan untuk tanaman ubi jalar dan ubi kayu yang sering dirusak adalah bagian daun dan akarnya. Tingkat palatability babi hutan tersebut didukung oleh pernyataan Sitorus et al (2013) bahwa makanan dari babi hutan adalah akar- akaran, buah-buahan yang jatuh, dedaunan, pucuk daun muda dan kadang-kadang memakan tanah.
Selain Babi hutan, satwaliar yang berkonflik di perkebunan masyarakat karena tingkat palatabilitynya adalah Beruk ( Macaca nemestrina). Beruk ( Macaca nemestrina) merupakan satwa liar pemakan buah-buahan dan juga biji-bijian. Karenanya, perkebunan masyarakat yang menanam buah -buahan seperti jambu, nanas dan pisang sering didatangi oleh beruk.
Konflik antara primata dengan masyarakat yang terjadi di beberapa desa di Pulau Bangka seperti konflik yang terjadi di Desa Balunijuk dan Jada Bahrin di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Belakangan ini telah banyak ditemukan pembukaan lahan hutan untuk dijadikan areal perumahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan properti.
Pembukaan areal pemukiman tersebut menyebabkan degradasi habitat primata yaitu rusaknya kawasan hutan. Hutan yang ada di Desa Jada Bahrin dan Balunijuk merupakan salah satu habitat monyet ekor panjang, karena kawasan desa tersebut memiliki hutan yang dialiri sungai yang membuat kawasan tersebut sesuai bagi monyet ekor panjang (Macaca fasicularis).
Karena tipe hutan yang berada di tepian sungai merupakan tempat yang sesuai bagi habitat monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) dan satwa tersebut merupakan jenis satwa yang dapat ditemukan di berbagai tipe hutan mulai dari hutan alam maupun hutan sekunder (Oriza et al, 2019). Berkurangnya habitat dan sumber pakan alami satwa yang disebabkan kegiatan pembukaan lahan akan menganganggu kehidupan monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) sehingga satwa menjadi terdesak dan dapat menganggu masyarakat, merusak tanaman, hewan ternak dan perkebunan warga.
Konflik buaya dan masyarakat di beberapa Desa di Pulau Bangka seperti yang terjadi pada Desa Kayu Besi dan Bukit Layang. Desa Kayu Besi merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Puding Besar Kabupaten Bangka. Desa ini dialiri oleh daerah aliran sungai yang bermuara pada sungai di wilayah Desa Batu Rusa, kerusakan habitat buaya di Desa terjadi karena adanya kegiatan pertambangan timah illegal yang dilakukan oleh masyarakat.
Masyarakat Desa selain bermatapencaharian sebagai petani, menjadi penambang timah adalah pekerjaan yang umum dilakukan. Penambangan timah illegal tersebut berada di kawasan sungai ataupun muara yang mana kawasan tersebut merupakan habitat bagi Buaya Muara (Crocodilus porosus). Hampir seluruh aliran sungai dan muara di Pulau Bangka menjadi habitat bagi Buaya Muara.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan menyebabkan rusaknya kawasan dan ekosistem sungai yang akhirnya menyebabkan sumber pakan alami buaya seperti ikan-ikan menghilang. Masyarakat umumnya melakukan aktivitas pertambangan di kawasan yang merupakan habitat buaya ataupun area jelajah dari buaya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik buaya dan manusia.
Dari keseluruhan konflik buaya dengan masyarakat yang terjadi di Pulau Bangka selama 2022, Kota Pangkalpinang juga salah satu kota yang beberapa daerahnya mendapat laporan terkait adanya kehadiran buaya disekitar permukiman yang meresahkan masyarakat. Daerah tersebut adalah kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Semabung Lama. Diketahui bahwa faktor penyebab kemunculan buaya di Kelurahan Semabung Lama adalah karena kerusakan habitat kawasan yang menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan sungai tempat ditemukannya buaya terdapat aktivitas pertambangan timah khususnya dibagian hulu.
Hal itulah yang membuat buaya-buaya tersebut mulai berpindah kebagian sungai yang dekat dengan permukiman masyarakat. Sebagian besar konflik yang terjadi antara buaya muara (Crocodilus porosus) dengan masyarakat di Kelurahan Pasir Putih dan Semabung Lama adalah karena palatability atau tingkat kesukaan buaya muara (Crocodilus porosus) terhadap pakan yang terdapat disekitar daerah konflik.
Upaya mitigasi konflik satwaliar dengan masyarakat dapat dilakukan dengan cara pemasangan paranet, pembuatan pagar, menanam tanaman yang tidak disukai satwaliar dan memasang orang-orangan. Adapun jika konflik yang terjadi skalanya cukup besar, masyarakat diarahkan untuk menghubungi pihak desa dan instansi terkait dalam menangani konflik tersebut.
Upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dan cara menangani buaya dengan mengikuti standar operasional penanggulangan yang telah ditetapkan melaksanakan sosialisasi terkait metode mitigasi yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik tersebut dan memasang spanduk himbauan agar masyarakat berhati-hati. (red)