Oleh : ElvanHatta Mahatir
(Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Alam
Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
Fakultas Teknik & Sains)
Nuansababel.com, Bangka Belitung merupakan provinsi kepulauan yang dimana memiliki kekayaan alam yang melimpah, dimana sebagian besar masyarakat Bangka Belitung sendiri memanfaatkan hasil alam tanpa memikirkan dampak dari kerusakan alam yang ada di Bangka Belitung, sebagian besar mata pencarian masyarakat Babel yaitu, petani, penambang timah dan nelayan.
Lahan perkebunan banyak dibuka di kawasan hutan hal ini jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan satwa liar menjadi terganggu dan susah mencari mangsa alaminya sehingga menimbulakan konflik manusia dengan satwa liar, konflik manusia dan satwa liar rata-rata disebabkan oleh rusaknya hutan dan daerah aliran sungai yang dimana sebagian masyarakat di Bangka mengalami konflik dengan perimata, seringkali satwa liar menggangu hasil kebun para petani yang dimana kebanyakan perimata karen petani lokal hanya menanam beberapa jenis tanaman.
Kebanyakan kasus dari konflik manusia dan satwa karena para masyarakat menganggap perimata tersebut sebagai hama bagi perkebunan mereka hal ini disebabkan karena satwa liar selalu memakan bahkan merusak tanaman mereka yang mau siap panen hal ini menyebabkan sebagian besar para masyarakat mengalami kerugian besar.
Untuk mengurangi kerugian besar masyarakat akan memburu satwa-satwa yang mereka anggap sebagai hama bahkan langsung dibunuh begitu saja. Satwa liar adalah hewan vertebrata yang hidup di lingkungan alam, berinteraksi dengan lingkungannya atau hidup dalam ekosistem alam. Aktivitas manusia biasanya tidak berdampak besar pada satwa liar, tetapi situasinya dapat berubah ketika manusia merambah habitat alami dan mengubahnya menjadi perkebunan, pembangunan perumahan, dan penggunaan lainnya yang memerlukan pembukaan lahan.
Pembukaan tersebut menyebabkan penyempitan kawasan hutan atau kawasan tipe habitat, yang juga memperburuk kondisi habitat para satwa liar. Hal ini memaksa satwa liar untuk mencari tempat baru untuk berpindah mencapai pemukiman dan perkebunan masyarakat, dan berujung pada konflik antara manusia dengan satwa liar.
Ada faktor-faktor yang menyebabkan konflik manusia dengan satwa liar seperti penggarapan kawasan hutan, baik lama maupun baru, penebangan liar, perluasan perkebunan, dilakukan tanpa pertimbangan kebradaan satwa liar, perburuan, ketidaktersediaan makanan yang cukup bagi kelangsungan hidup satwaliar di dalam hutan, serta pembukaan wilayah hutan untuk pengusahaan pertambangan.
Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang memiliki banyak perkebunan. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2019), sekitar 283,7 ribu hektar atau 17,24% dari luas wilayah Bangka Belitung merupakan lahan perkebunan. Beberapa dari perkebunan ini terletak di kawasan hutan dimana kondisi tersebut dapat menimbulkan konflik antara satwa liar dan masyarakat. Area pertanian dan perkebunan.
Kegiatan pengalihfungsian lahan tersebut telah menyebabkan kerusakan habitat satwa dan mengurangi luas areal jelajah satwa sehingga menjadi salah satu penyebab atau faktor pemicu konflik manusia dan satwa liar yang ditandai dengan rusaknya tanaman para petani yang diganggu oleh satwa liar. pada saat kawasan perkebunan mereka baru dibuka, terdapat banyak tanaman yang rusak akibat dimasuki oleh satwaliar seperti babi hutan, beruk dan lutung.
Perubahan habitat dapat menyebabkan pergerakan hewan untuk menghindarinya. Pergerakan ini merupakan salah satu strategi bagi satwa liar untuk beradaptasi dan memanfaatkan kondisi lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal.
Artinya, akses alami terhadap perkebunan masyarakyat merupakan salah satu respon satwa liar untuk mengatasi perubahan habitat yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan, hal ini kemudian berubah menjadi konflik antara satwa liar dan masyarakat. Menurut para ahli bahwa setiap satwa liar memiliki daerah teritorial yang dimana daerah tersebut diganggu atau tersentuh oleh manusia maka satwa liar tersebut masih menggangap bahwa daerah yang dijamah oleh manusia merupakan daerah atau kawasan teritorial bagi satwa liar, karena mereka tidak memiliki alternatif atau daerah lainnya.
Beberapa jenis satwa berkonflik di perkebunan masyarakat disebabkan oleh tingkat kesukaan satwa liar terhadap jenis tanaman, satwa yang sering merusak tanaman masyarakat di Bangka seperti di Desa Air Mesu diantaranya adalah babi hutan, tupai dan beruk. Adapun jenis tanaman yang sering dirusak oleh satwaliar tersebut adalah ubi jalar, ubi kayu, jagung, nanas, kacang, timun, alpukat, pisang dan jambu air. banyak ditemukan bahwa babi hutan sering mengganggu dan merusak tanaman nanas, ubi jalar, dan singkong.
Tumbuhan nanas atau buah nanas menjadi salah satu makan babi hutan jika di perkebunan masyarakat sedangkan ubi jalar dan singkong yang seringkali rusak pada bagian daun dan akarnya, menurut para ahli makan babi hutan yaitu akar-akaran, buah-buahan, dan dedaunan yang muda, selain babi hutan satwa yang berkonflik dengan masyarakat adalah beruk dan tupai karena satwa tersebut merupakan pemakan buah-buahan dan biji-bijian, karena itu masyarakat yang menanam buah-buahan seperti jambu, durian, alpukat, dan nanas sering kali didatangi oleh beruk dan tupai.
Bukan konflik itu saja yang terjadi di Bangka, konflik manusia dengan buaya juga sering terjadi hal ini terjadi banyaknya habitat buaya yang ditemukan di perairan pulau Bangka tentunya akan meningkatkan potensi terjadinya interaksi antara buaya dengan masyarakat yang mana hal ini dapat memicu konflik antara satwa tersebut dengan masyarakat di pulau Bangka.
Permasalahan ini juga diperparah dengan banyaknya kawasan yang terdegradasi akibat aktivitas pertambangan timah yang mengakibatkan habitat dan areal teritorial dari buaya tersebut berkurang, sehingga memaksa buaya-buaya tersebut mulai mencari habitat baru yang dekat dengan manusia. Jenis buaya yang banyak mendiami perairan Bangka sendiri yaitu jenis buaya muara (Crocodylus porosus) merupakan salah satu spesies satwa liar yang hidup di daerah muara atau daerah perbatasan antara sungai dan laut.
Spesies ini memiliki ciri-ciri yaitu memiliki moncong yang cukup lebar, sisik tidak lebar dan memiliki panjang tubuh mencapai 12 meter, konflik manusia dengan satwaliar dapat terjadi karena adanya gangguan, ancaman atau ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang menyebabkan kerusakan habitat dari satwa liar itu sendiri. (red)