Oleh: Abdul Kamal
(Mahasiswa Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung)
Nuansababel.com, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan banyaknya perkebunan masyarakat. Dan dominan dari banyaknya penduduk masyarakat Bangka Belitung itu sendiri adalah petani dengan banyaknya kawasan perkebunan yang terdapat di Bangka Belitung tentunya akan meningkatkan potensi terjadinya konflik antara satwa liar dengan masyarakat.
Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi.
Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwa liar, dan bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwa liar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan.
Konflik manusia satwa liar merupakan permasalahan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri. Konflik yang terjadi seharusnya mendorong para pihak terkait lebih bijaksana dalam memahami kehidupan satwa liar sehingga tindakan penanganan dan pencegahannya dapat lebih optimal dan berdasarkan akar permasalahan konflik tersebut.
Konflik manusia dan satwa liar biasanya dipicu oleh terjadinya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan masyarakat, lahan pertanian pemukiman dan pembangunan infrastruktur yang berdampak pada hilangnya habitat satwa liar (habitat loss), pemecahan habitat (fragmentation) dan penurunan kualitas habitat (habitat degradation). Pada akhirnya ketiga dampak tersebut mengancam kelestarian keanekaragaman hayati di provinsi Bangka Belitung.
Dan permasalahan konflik antara manusia dan satwa liar yang terjadi di Bangka Belitung itu sendiri di karenakan telah banyaknya kerusakan pada habitat satwa yang telah di jadikan lahan perkebunan oleh masyarakat. Sehingga tidak sedikit satwa merasa terancam karena melakukan pembabatan hutan untuk di jadikan lahan perkebunan. Dan konflik antara manusia dan satwa yang mengkibatkan kesusahan bagi satwa untuk mencari tempat tinggal dan mencari makan untuk mereka. Sehingga tidak sedikit satwa yang masuk ke wilayah perkebunan dan merusak tanaman masyarakat untuk di jadikan tempat mencari makan bagi mereka.
Dalam hal ini konflik antara manusia dan satwa liar terjadi di beberapa Desa di Pulau Bangka Belitung seperti konflik yang terjadi di Desa Kemuja dan Air Duren Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Di Kemuja dan Desa Air Duren telah diketahui bahwa monyet ekor panjang( macaca fascicularis) dan ada juga babi hutan (sus scrofa) yang sering masuk ke perkebunan warga.
Dikatakan oleh warga monyet ekor panjang dan babi hutan tersebut suka merusak hasil dari tanaman para warga, seperti pohon cabai yang biasanya dipatahkan pucuknya dan dimakan buahnya oleh monyet ekor panjang. Dan ada juga babi hutan yang biasanya sering mengganggu perkebunan warga yaitu seperti tanaman singkong dan bijur.
Ada juga konflik lainnya seperti antara manusia dan buaya yang terjadi di Desa Kayu Besi dan Bukit Layang. Desa Kayu Besi merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Puding Besar Kabupaten Bangka. Desa ini mengalir dari kawasan daerah aliran sungai yang bermuara pada sungai di wilayah Desa Batu Rusa, terjadinya kerusakan habitat buaya di Desa Kayu Besi tersebut karena telah banyaknya kegiatan pertambangan timah illegal yang dilakukan oleh warga sekitar.
Penambangan timah illegal tersebut berada di kawasan sungai ataupun muara yang mana kawasan tersebut merupakan habitat bagi Buaya Muara (crocodylus porosus). Hampir dari seluruh aliran sungai dan muara di Pulau Bangka Belitung menjadi habitat bagi Buaya Muara.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh warga menyebabkan banyak kerusakan pada kawasan dan ekosistem sungai yang akhirnya menyebabkan sumber pakan alami buaya seperti ikan-ikan yang biasa mereka makan kini menghilang dan sulit untuk mereka temui.
Masyarakat umumnya melakukan aktivitas pertambangan dikawasan yang merupakan habitat buaya ataupun area jelajah dari buaya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik buaya dan manusia. Dan tidak sedikit korban dari serangan buaya tersebut. Juga sering mendapatkan laporan dari warga banyaknya hewan ternak mereka yg dimangsa oleh buaya tersebut.
Upaya mitigasi konflik satwaliar dengan masyarakat dapat dilakukan dengan cara menanam tumbuhan yang tidak disukai mereka sehingga mereka tidak berani masuk ke wilayah perkebunan, dan bisa juga memasang batas perkebunan paranet atau jaring apabila wilayah perkebunan tidak terlalu luas, pembuatan pagar, atau memasang patung yang bisa membuat mereka takut. Sehingga perkebunan warga aman dari gangguan satwa liar.
Adapun upaya konflik antara manusia dan buaya muara (crocodylus porosus) yaitu dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan memberi tahu kepada masyarakat untuk melakukan hal sebagai berikut yaitu dengan memasang plang yang menunjukan bahwa tempat tersebut banyak hewan buas, dan memang pagar agar warga tidak masuk wilayah buaya tersebut. (red)