Oleh: Reani Febriyani ( 200641010)
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung Fakultas Teknik dan Sains Prodi Konservasi Sumber Daya Alam)
Nuansababel.com, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang memiliki banyak kawasan perkebunan yang masyarakatnya memanfaatkan sumber daya lahan sebagai lahan perkebunan dan pertanian.
Selain dimanfaatkan oleh masyarakat, kawasan perkebunan juga merupakan habitat bagi berbagai jenis satwaliar. Pulau Bangka juga merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang daerahnya banyak dialiri oleh daerah aliran sungai. Aktivitas seperti mandi, mencuci, memancing dan menjaring ikan, hingga menambang umum dilakukan masyarakat di kawasan aliran sungai.
Selain dimanfaatkan oleh masyarakat, aliran sungai di Pulau Bangka merupakan habitat bagi berbagai jenis satwaliar. Daerah aliran sungai ini merupakan sumber kehidupan bagi mayoritas masyarakat daerah karena banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di kawasan aliran sungai.Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984 dalam Alikodra, 2000).
Salah satunya adalah satwaliar babi hutan (Sus scrofa) dan berjenis reptil yaituBuaya Muara (Crocodilus porosus) dan satwaliar jenis primata adalah Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis) dan Beruk ( Macaca nemestrina). Akhir-akhir ini di Pulau Bangka terjadi peningkatan konflik antara satwaliar dengan masyarakat . Konflik satwaliar dengan masyarakat merupakan suatu permasalahan dimana dalam hal ini bukan hanya keselamatan manusia yang diutamakan tetapi juga keselamatan satwaliar itu sendiri.
Menurut Alikodra (2012) dalam Rudini (2016) kondisi satwa sangat bergantung dengan kualitas dan kuantitas habitat yang mencukupi, bagi dukungannya terhadap kesejahteraan mereka. Faktor penyebab terjadinya konflik antara manusia dengan satwaliar seperti perladangan dalam kawasan hutan baik yang lama maupun baru, illegal logging, perluasan lahan perkebunan yang dilakukan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan keberadaan satwaliar, perburuan, ketidaktersediaan makanan yang cukup bagi kelangsungan hidup satwaliar di dalam hutan, serta pembukaan wilayah hutan untuk pengusahaan pertambangan .
Terjadinya penurunan kualitas habitat satwaliar dapat membuat satwa terdesak dan membuat area jelajah baru yang kemudian masuk ke kawasan masyarakat. Satwaliar yang masuk ke kawasan pemukiman masyarakat akan menyebabkan gangguan dalam kehidupan masyarakat dan memicu terjadinya konflik antara satwaliar dengan manusia hingga tidak jarang pula menyebabkan kerugian pada masyarakat.
Kerusakan habitat ini tidak hanya berdampak pada biodiversity yang ada di ekosistem namun juga berdampak kepada masyarakat yang berada dekat dengan aliran sungai. Karena rusaknya habitat satwa , memicu terjadinya konflik antara satwaliar dengan manusia. Salah satu hal yang sangat penting dalam upaya pemulihan dan perlindungan habitat satwa pada kondisi saat ini adalah penetapan spesies yang dapat menjadi ‘jenis payung’ (umbrella species) dalam mengkonservasi spesies lainnya (Choudhury, 2013).
Penetapan umbrella species sangat penting dalam menentukan indikator pengelolaan dan diharapkan dapat meminimalisasi kebutuhan sumberdaya manusia dan pendanaan yang masih rendah untuk mendukung konservasi satwaliar (Kiffner et al., 2015).
Dalam hal ini konflik antara satwaliar dengan manusia terjadi di beberapa desa di Pulau Bangka seperti konflik yang terjadi di Desa Balunijuk dan dan Jada Bahrin di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, diketahui bahwa babi hutan (Sus scrofa) sering ditemukan mengganggu dan merusak tanaman nanas, ubi jalar, dan ubi kayu. Dari tanaman nanas tersebut, bagian yang sering dirusak adalah buahnya. Sedangkan untuk tanaman ubi jalar dan ubi kayu yang sering dirusak adalah bagian daun dan akarnya, buah-buahan yang jatuh, dedaunan, pucuk daun muda dan kadang-kadang memakan tanah.
Selain Babi hutan, monyet ekor panjangsatwaliar yang berkonflik di perkebunan masyarakat karena tingkat palatabilitynya adalah Beruk ( Macaca nemestrina). Beruk ( Macaca nemestrina) merupakan satwa liar pemakan buah-buahan dan juga biji-bijian. Karenanya, perkebunan masyarakat yang menanam buah -buahan seperti jambu, nanas, pepaya dan pisang sering didatangi oleh beruk.
Konflik antara primata dengan masyarakat yang terjadi di beberapa desa di Pulau Bangka seperti konflik yang terjadi di Desa Air Duren dan Kemuja Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka). Belakangan ini telah banyak ditemukan pembukaan lahan hutan untuk dijadikan areal perumahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan properti. Pembukaan areal pemukiman tersebut menyebabkan degradasi habitat primata yaitu rusaknya kawasan hutan. Hutan yang ada di Desa Air Duren dan Kemuja merupakan salah satu habitat Monyet Ekor Panjang bagi Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis).
Hutan merupakan sumberdaya alam yang harus dijaga kelestariannya karena memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Hutan tidak hanya bermanfaat secara ekonomi tapi juga bermanfaat secara ekologi (Nurlia et al., 2015). Berkurangnya habitat dan sumber pakan alami satwa yang disebabkan kegiatan pembukaan lahan akan menganganggu kehidupan monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) sehingga satwa menjadi terdesak dan dapat menganggu masyarakat tanaman, perkebunan warga.
Konflik buaya dan masyarakat di beberapa Desa di Pulau Bangka seperti yang terjadi pada Desa Kayu Besi dan Bukit Layang. Desa Kayu Besi merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Puding Besar Kabupaten Bangka. Desa ini dialiri oleh daerah aliran sungai yang bermuara pada sungai di wilayah Desa Batu Rusa, kerusakan habitat buaya di Desa terjadi karena adanya kegiatan pertambangan timah yang dilakukan oleh masyarakat.
Masyarakat desa selain bermata pencaharian sebagai petani, menjadi penambang timah adalah pekerjaan yang umum dilakukan. Penambangan timah tersebut berada di kawasan sungai ataupun muara yang mana kawasan tersebut merupakan habitat bagi Buaya Muara (Crocodilus porosus). Hampir seluruh aliran sungai dan muara di Pulau Bangka menjadi habitat bagi Buaya Muara.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan menyebabkan rusaknya kawasan dan ekosistem sungai yang akhirnya menyebabkan sumber pakan alami buaya seperti ikan-ikan menghilang. Masyarakat umumnya melakukan aktivitas pertambangan di kawasan yang merupakan habitat buaya ataupun area jelajah dari buaya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik buaya dan manusia.
Dari keseluruhan konflik buaya dengan masyarakat yang terjadi di Pulau Bangka selama ini. Kota Pangkalpinang juga salah satu kota yang beberapa daerahnya mendapat laporan terkait adanya kehadiran buaya disekitar permukiman yang meresahkan masyarakat. Daerah tersebut salah satu nya di daerah Kelurahan Semabung Lama.
Diketahui bahwa faktor penyebab kemunculan Buaya di Kelurahan Semabung Lama adalah karena kerusakan habitat kawasan yang menunjukkan bahwa sebagian besar. Sebagian besar konflik yang terjadi antara buaya muara (Crocodilus porosus) dengan masyarakat di Kelurahan Semabung Lama adalah karena tingkat kesukaan buaya muara (Crocodilus porosus) terhadap pakan yang terdapat disekitar daerah konflik.Upaya mitigasi konflik primata dengan masyarakat dapat dilakukan dengan cara Pemasangan Paranet, Pemasangan Pagar Pembatas, Menanam Tanaman yang Tidak Disukai Satwaliar dan Memasang Orang-orangan Sawah.
Adapun upaya yang disarankan dalam pengendalian gangguan satwaliar terhadap komoditas pertanian dapat dilalukan dengan penempatan lokasi tanam yang jauh dari hutan dan mengubah jenis-jenis komoditas yang ditanam yaitu jenis tanaman yang tidak disukai oleh satwa liar seperti tanaman pare( Momordicacharantia).
Dengan upaya pengendalian lainnya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik satwa liar dengan manusia metode mitigasi yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik tersebut dan memasang orang-orang sawah, bertanam yang tidak disukai satwa dan masyarakat juga harus berhati-hati. Ada pun salah satu oasal dalam undangundang (UU) No. 18 tahun 2009 dan UU No. 41 tahun 2014 tentang perternakan dan keshatan hewan mengatur bahwa setiap orang dilarang untuk menganiaya atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan hewan menjadi cacat atau tidak produktif. (red)