Editorial Oleh: Rudi Syahwani (Pemimpin Redaksi)
Nuansababel.com, Pangkalpinang – YS, orang tua dari dua remaja di bawah umur RD (15) dan SJ (16) masih merasa terzolimi, atas vonis Pengadilan Negeri Koba terhadap Men Kho alias Unyil yang terbukti melakukan penganiayaan. Bukan hanya soal vonis 3 bulan penjara dan denda Rp 2 juta subsider 3 bulan kurungan yang dirasa ringan. Namun misteri rekan-rekan Unyil yang ikut menganiaya RD dan SJ yang tak terjerat hukum juga menjadi ganjalan di hati YS.
Ini lah akhir dari proses hukum terhadap Men Kho alias Unyil yang terbilang sepi sorotan media. Padahal dalam sebuah reportase yang digarap tim redaksi, jelas pengakuan RD dan SJ soal perlakuan Men Kho alias Unyil bersama sekitar 6 orang dewasa lainnya yang ikut mengintimidasi dan melakukan penganiayaan, (saksikan selangkapnya https://youtube.com/watch?v=M8eQdf4EBkc&feature=share).
Jadi jelas, rasa keadilan yang tak terpenuhi dalam penegakan hukum terkait penganiayaan yang dialami RD dan SJ, bukan hanya soal angka pada vonis. Akan tetapi ada pihak yang diduga sama sekali tidak tersentuh pertanggung jawaban atas penganiayaan yang telah dilakukannya. Ini lah yang kemudian memantik reaksi dari seorang aktivis perlindungan anak Prof. Dr. Seto Mulyadi, S. Psi, yang menilai vonis dari para hakim PN Koba tak menimbulkan efek jera.
Kemudian, masalahnya tak hanya soal vonis 3 bulan penjara dan denda Rp 2 juta. Akan tetapi seharusnya ada banyak orang yang ikut bertanggung jawab, atas pukulan yang disasarkan ke tubuh RD dan SJ. Men Kho seolah dibiarkan ‘pasang badan’ yang tak seharusnya dibiarkan, menutupi pihak-pihak yang ikut andil membuat babak belur RD dan SJ.
Padahal, RD maupun SJ sudah menjelaskan bahwa Unyil tak sendiri. Bahkan salah seorang bapak paruh baya yang ikut menyasarkan pukulan atas fisik RD dan SJ. Penetapan Men Kho alias Unyil sebagai satu-satunya pelaku yang bertanggung jawab, pun agak mengusik logika. Karena korbannya yang terdiri dari 2 orang. Berarti Unyil seorang bisa menghajar 2 remaja sekaligus.
Berkaca dari kasus yang mendudukkan seorang Mario Dandy, bagaimana seorang anak di bawah umur dianiaya sedemikian rupa, hingga proses hukum yang tersorot begitu banyak kamera pers. Sehingga proses penegakan hukumnya terasa mengakomodir rasa keadilan dari korban dan keluarganya.
Dari sini mari kita bedah sekilas, perbedaan kondisi perkara antara penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy dengan yang dilakukan oleh Men Kho alias Unyil. Mario Dandy menganiaya seorang anak dari seorang petinggi Ansor. Aksi penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy juga terekam kamera yang kemudian viral. Plus, proses penegakan hukumnya juga disoroti oleh banyak pihak dan lensa wartawan.
Alhasil, Mario Dandy cs akhirnya menerima ganjaran yang dianggap publik memenuhi rasa keadilan pihak korban dan keluarganya.
Kemudian jika kita melihat perkara Men Kho alias Unyil, di mana kita ketahui Unyil sebagai pelaku adalah saudara dari Ketua DPRD Bangka Tengah. Tanpa rekaman, dan sorotan kamera pers dalam proses penegakan hukumnya. Endingnya dapatlah vonis yang diakui keluarga korban telah menciderai rasa keadilan.
Perbedaan kondisi ini lah yang kemudian bisa menimbulkan persepsi bahwa mentalitas penegakan hukum kita masih seperti ‘kucing garong.’ Kucing garong itu akan manis, diam, santun dan manut manakala dalam pengawasan majikannya. Namun semuanya diabaikan ketika pengawasan itu hilang.
Mentalitas ini terasa sekali dalam potret penegakan hukum antara Mario Dandy dengan Men Kho alias Unyil. Karena seharusnya penegakan hukum tersebut dilakukan atas Men Kho alias Unyil beserta rekan-rekan nya yang lain. Mungkin…. Vonis 3 bulan penjara dengan denda Rp 2 juta subsidair 3 bulan kurungan itu bisa sedikit dirasa memenuhi keadilan, jika… Tak hanya untuk Unyil seorang. (red)